Rabu, 23 April 2014

Cerita Pada Belitong

Seperti yang saya sempat paparkan dalam tulisan saya yang pertama dalam 2014 ini pada tulisan saya yang berjudul "auditor junior", saya bercerita dengan teman saya dan ia mengatakan "dengan tulisan, semua kenangan akan selalu hidup". Itulah alasan saya ingin menulis kembali dan tidak menyimpan semua memory saya dalam sebuah folder foto yang tertata rapih didalam laptop saya ini untuk saya kenang sendiri.atau sekadar memasangnya dalam media sosial yang sudah saya privasi. saya ke pulau bangka dan belitong ini memang sudah berselang beberapa bulan tapi saya ingin menuliskannya kedalam blog ini, mungkin saat saya sudah tua nanti dan lupa, saya bisa melihat semua memory dalam hidup saya.
Bermula dari penugasan papa ke pulau bangka ini untuk melaksanakan PLT, yang memang dalam hal ini papa adalah seorang PNS. Papa bukan pertama kalinya dipindah tugaskan ke luar kota, dulu saat saya masih duduk di bangku sd saya pernah tinggal di Kabupaten Solok (sumatra barat) sekitar 3 tahun, dan akhirnya pindah kembali ke Padang. Setelah sekian lama, papa pindah tugas lagi ke luar kota, dan hal ini tentu saja sangat menarik karena papa pindah ke Pangkal Pinang! Memang saya tidak selalu bisa untuk selalu mengunjungi papa disana, tapi dengan ditempatkannya papa disana saya bisa beberapa kali berkunjung. Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di pulau itu, pulau Bangka.
Hari Pertama di Pangkal Pinang.
Memasuki bulan ketiga papa di Pangkal Pinang, papa berinisiatif untuk mengajak kami sekeluarga ke rumah dinas yang disediakan pemerintah untuk papa disana. Papa disana sendirian karena mama dan gita tetap di padang untuk sekolah dan bekerja, sedangkan saya masih berkuliah di bandung. Pertama kalinya saya menapaki kota Pangkal Pinang, jantung kotanya pulau Bangka penilaian saya adalah betapa berbedanya kota ini dari Padang, Bandung, atau Jakarta yang biasa saya lihat. Kota ini sedikit sepi daripada kota lainnya, dimana saat sabtu dan minggu semua toko hampir tutup disini,padahal jika ini adalah Padang atau Bandung, weekend adalah kesempatan emas pengusaha untuk mencari omset terbesar daripada hari lainnya disaat semua orang keluar rumah dan sekedar menikmati hari libur bersama keluarga, teman atau pacar tapi disini sabtu dan minggu mereka kebanyakan tutup. Ada satu hal lagi yang akan kau rasakan berbeda jika berkunjung ke tempat ini, yaitu jalanan di kiri dan di kanan sesekali akan kau temui dibeberapa tempat TPU (tempat pemakaman umum) di pinggir jalan kota atau saat kau mulai meninggalkan pusat kota dan mulai menapaki perjalanan menuju sungailiat kau akan temukan di kiri dan di kanan jalan adalah lubang besar yang ditutupi air hujan dengan tanah tandus berwarna perak. Ketahuilah lubang besar di kiri dan kanan jalan tersebut adalah bekas penambangan timah oleh masyarakat dan PT Timah persero. Sudah bukan asing lagi di telinga kita semua bahwa pulau bangka dan belitong itu terkenal karena timahnya. Di ekspoitasi besar-besaran saat era penjajahan belanda dan terus menerus meraup hasil alamnya hingga sekarang ini. Saya masih ingat, dahulu papa dan mama sempat berbicara tentang keeksisan timah sekitar tahun 1880-1996 di pulau ini. Tanpa bersekolah dan bekerja kau bisa kaya disini cukup dengan hanya menggali timah di tanah pekarangan atau menyelam dalam sungai atau laut untuk mencari butiran tanah yang mengandung timah lalu kau jual kepada PT Timah persero dengan harga lumayan.
Namun sekarang ini masyarakat disana sudah tidak semakmur seperti cerita dahulu yang sering kau dengar. Timah menipis layaknya sumber daya alam yang jika terus menerus kau ambil akan habis. Timah sama seperti minyak dan gas alam yang semakin menipis dan siap mencekik pemerintah karena harganya semakin mahal. Begitupula timah, masyarakat disini pun sudah sejak lama bergantung pada timah sebagai sumber penghidupannya. Sekarang kota disini seakan kehilangan gairah, seperti itulah yang kulihat. Tanah tandus dimana-mana yang tidak bisa menghasilkan tanaman palawija seperti sayur lembab yang biasa kau konsumsi di daerah bertanah subur. Tanaman yang paling banyak disini adalah lada dan pala. Sangat sulit kau temui disini tanaman seperti jagung, padi, kembang kol, wortel atau lainya yang hanya dapat tumbuh di tanah berwarna coklat atau hitam. Sekali kau menginjakkan kakimu pada tanah, yang kau rasakan adalah kering dan panas apalagi saat kau berada di tanah bekas penambangan timah.

Kami sekeluarga di bawa papa oleh pak Daus (Supir kantor papa) ke sebuah pantai di Pulau Bangka yang terkenal yaitu pantai Parai. Pantai ini terletak di Kabupaten Sungailiat utara yang ternyata banyak wisatawan asing berkunjung kesini meskipun tidak seramai Bali. Kau tahu, pantai itu indah sekali dengan pesona bebatuan dimana-mana diiringi pasirnya yang putih serta lembut saat kau injakkan kakimu di pelepas pantai. Saya takjub, saya terperangah dan saya kagum sepenuhnya oleh pesona pantai ini. Saya pernah ke Bali yang di sebut-sebut orang seantero adalah pantai terindah. Namun, menurut saya pantai ini memancarkan pesona asri yang bersih, tampaknya tidak terlalu banyak wisatawan kesini dan merusak pantai dengan sampah, mengotori warna pasirnya dengan beragam sampah pula.
Ada satu hal yang unik dari pantai-pantai yang ada pada Pulau ini, yaitu bebatuannya. Di pantai ini tampak bebatuan yang seolah terlempar dari langit yang semuanya condong pada satu arah, seolah terlempar dari ruang angkasa, entah dahulu berbentuk meteor atau terjadi atas ledakan gunung berapi. Saking takjubnya saya tidak lagi bertanya dari apa asal muasal semua bebatuan itu, padahal biasanya saya orang yang paling banyak tanya, hahaha.
Hari Ketiga – Memasuki Belitong
Tidak berlama-lama, pada hari ketiga kami sekeluarga pergi ke pulau Belitong. Jangan kau sangka jika Bangka dan Belitong itu dekat kayaknya jarak tempuh Jakarta-Bandung. Dari pulau bangka, kita akan menaiki pesawat ¾ atau menaiki kapal fery berkapasitas 80 orang sekitar 6-8 jam. Pada kesempatan ini, kami sekeluarga memilih menaiki pesawat karena memang mama tidak terbiasa menggunakan kapal laut meskipun betapa inginnya saya dan adik saya menaiki kapal laut. Jika menaiki pesawat kau hanya akan menghabiskan waktu sekitar 45 menit. Kami menaiki pesawat jadul kala itu, dimana pesawatnya masih menggunakan baling-baling, sangat unik seperti pesawat era Belanda yang masih menjajah Indonesia sebelum kemerdekaan.


Sesampainya disana, seperti orang kebanyakan kami istirahat disebuah hotel sederhana menunggu waktu jemputan orang yang kami sewa untuk mengantarkan kami ketempat-tempat wisata. Tujuan awal saya disana adalah Pantai Lengkuas, pantai yang paling indah yang pernah saya lihat setelah pantai Parai, Sungailiat, Bangka. Untuk menuju tempat ini, kami harus menaiki sebuah perahu yang sudah disediakan masyarakat sebagai layanan wisatawan. Jarak tempuhnya sekitar 25 menit dengan kecepatan rata-rata perahu kayu indonesia yang diberi mesin jet boat.


Saya ingin berbagi mengenai keindahan pantai ini dengan beberapa foto yang akan saya publish ditulisan ini. Selain keindahan pantainya yang menakjubkan, disana ada sebuah menara mercu suar dengan 18 lantai hingga menuju puncak. Wisatawan diperbolehkan untuk menuju mercu suar dengan sumbangan sukarela perorang 5rb rupiah. Kau tahu? Menaiki menara mercu suar dengan tas ransel erisi makanan itu melelahkan. Yang menaiki menara itu kala itu hanya saya dan adik saya, berdua tanpa mama dan papa karna saya sendiri dilarang menaikinya, tapi kita nakal. Setengah perjalanan sekitar dilantai kedelapan, kami hampir menyerah dan ingin turun mengingat kami tanpa minta izin menaiki menara itu. Namun ada dua orang pria cina dewasa mengatakan kepada kami “masih jauh mba, terbayar kok sampai atas sama pemandangannya”. Mendengar kalimat itu, saya dan Gita makin semangat melanjutkan perjuangan hingga akhirnya kami sampai pada pundak tertinggi, yaitu lampu menara mercu suar!.


Ya tuhaaan, Ya Allah! Memang indah sekali rasanya seperti ada kebahagiaan yang benar-benar menghembus kedalam hati. Perjuangan kami tidak sia-sia, kami berfoto disetiap sudut dengan berbagai pose bergantian dengan latar belakang yang menakjubkan tersebut. Memang disini jelas terlihat bahwa bebatuan yang berjejer di pantai ini mengarah kesuatu tempat, yaitu kelangit arah barat. Tampaknya memang bebatuan tersebut terjatuh dari ketinggian langit atau letusan gunung merapi dan semuanya menghantan tanah dengan posisi yang hampir sama, condong kelangit. Dengan air yang bening kami bisa melihat dari atas cahaya matahari menembuh dasar pantai menambah indahnya pantai. Jika engkau meilhat dengan mata kepala sendiri tentunya engkau akan berdecak kagum dibandingkan hanya melihat dari kamera android berskala 5 Mega Pixel ini.


Hari Keempat dan Kelima – Menelusuri Jejak Laskar Pelangi
Salah satu yang membuat saya antusias dengan tempat ini adalah Laskar Pelangi. Jika kau baca Novel karangan Andrea Hirata, kata-katanya begitu menyentuh dan tentunya engkau akan bertanya-tanya apa memang tempatnya sedramatis itu atau seindah itukah?. Ya, saya mengunjungi lokasi pantai tempat dimana syutingnya berlangsung dahulu, pantai yang juga banyak bebatuannya. Hingga kami menelusuri lokasi syutingnya yang utama yaitu SD Muhammadiyah Gantong (SD Laskar Pelangi kala itu). SD itu bukanlah SD yang asli, kabarnya SD itu memang sudah rubuh dan sudah punah sekarang. Yang kami kunjungi tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah replika yang didesain seperti dalam novelnya Andrea Hirata.


Hal yang perlu kau kunjungi kembali adalah Museum Kata, Andrea Hirata. Letaknya tidak jauh dari SD replika Muhammadiyah Gantong itu. Disana kau akan melihat foto-foto Belitong masa itu, beberapa puluh tahun yang lalu, sekitar pertengahan 1980-an hingga 1990-an. Memang benar adanya kala itu Belitong adalah pulau yang berkiblat pada Timah. Mereka para anak SD, memilih tidak bersekolah karena ingin mencari timah dan menjualnya kepada penjaja timah. Mereka mendulang timah, ada yang berenang hingga kedasar danau untuk mencari timah hingga pulang dengan telinga yang berdarah, sungguh ironis sekali Belitong kala itu. Pertama kalinya saya benar-benar sadar apa yang dimaksudkan dalam Novel Andrea Hirata itu, Belitong yang terisolir, tidak peduli dengan hiruk pikuknya keagungan pendidikan yang menjadikan orang lebih berbangga hati. Anak-anak disana kala itu lebih memilih untuk mencari timah dengan harga mencapai ratusan ribu (cukup mahal kala itu). Untungnya sekarang, sejak dikeluarkannya peraturan pemerintah mengenai pembatasan kewenangan eksploitasi sumber daya alam tahun 1998, masyarakat umum tanpa surat lengkap tidak diperbolehkan mengambil timah dengan bebas. Disaat itu pula mungkin mereka menyadari, satu-satunya sumber daya alam yang paling mereka harapkan adalah timah. Tumbuhan akan sulit tumbuh dengan kondisi tanah berwarna perak yang panas seperti disana. Sejak dikeluarkannya peraturan itupulalah menurutku, gairah memburu timah warga Belitong menurun.

Rabu, 16 April 2014

Foto Studio Keluarga Eka Sanvadita Orchestra ke-2

Tak terasa kami sudah menapaki usia 2 tahun sejak pertama kali orchestra kami didirikan. Saya bangga sekali sudah menjadi sejarah dalam orchestra ini. Mulai dari mendirikan orchestra IMT (Institut Manajemen Telkom, nama sebelum menjadi Universitas Telkom) dan sempat menjadi ketuanya. Namun karena tenaga pemain di IMT kurang dan banyak anak-anaknya tidak berkomitmen saya setres dan mencari nomor salah satu personil orchestra ITT (Intitut Teknologi Telkom) yang kebetulan baru berdiri sekitar April 2012 lebih baru daripada kami yang sejak Desember tahun 2011. Mereka saat itu juga masih baru, dan belum dibayar setiap performnya. Waktu itu ketuanya adalah kak Evet, aku temui kak Evet seorang diri dan rapat kecil sama Fahmy (cameng), Ivan dan kak Evetnya sendiri. mereka sepaat untuk gabung karna mereka juga masih sedikit pemainnya kira-ira waktu itu tidak sampai 20 orang. dengan digabungkannya kami waktu itu kita hampir 20 orang.

Event per event, kita ga dibayar, lama kelamaan orang tau bagusnya kita kita mulai pasang tarif 100/lagu. Kita latihan rutin setiap rabu malam di Learning centre, si maestro Tony mengarensemen lagu sesekali rangga, Ivan, dan lainnya. Job mulai banyak, tarif kami naikkan hingga akhirnya kita nekat bikin konser perdana sendiri pada bulan Mei 2013 meskipun dengan tombokkkan dana banyak sekali, tapi acara itu sukses. Nah, tanggal 3 mei 2014 nanti kita adakan lagi konser kedua tapi kali ini bertemakan konser amal. Ringkasnya acara ini ditujukan persenannya untuk yayasan kanker di Bandung.

Sebelum acara mulai, seperti biasa kita foto keluarga besar lagi. Oiya, saya memang tidak banyak lagi menulis, karna postingan saya lebih banyak ke instagram atu medsos lainnya. Kita sudah banyak melakukan perekrutan anggota hingga membangun akademi sendiri. Tujuan cuma satu, yaitu untuk memperbanyak anggota yang bisa musik orchestra serta terasah skill bermainnya.

inilah foto keluarga baru ESO yang sudah di rekrut, disaring berkali-kali, hahaha

Karna saya sudah tidak lagi dalam kepengurusan baik ketua ataupun koordinator, tapi saya sesepuh disini sebagai SC, ini adalah foto SC :